Beberapa perusahaan atau pemimpin bisnis kerap menyalahkan kesenjangan antara lulusan perguruan tinggi dengan skill yang dimilikinya. Dengan kata lain, beberapa lulusan universitas yang belum ‘siap pakai’ di dunia kerja.
Ditambah persaingan di dunia kerja juga tak mudah, bagi para lulusan baru yang tak memiliki mental sekuat baja, mungkin akan terlempar dari pusaran pekerja.
Tak dipungkiri, gelar sarjana memang penting, namun laporan terbaru dari The Economist seperti dilansir dari HBR, ROI (Return of Investment) dari sebuah gelar sarjana tidak begitu tinggi bagi fresh graduate.
Bahkan setiap tahunnya nilai tambah gelar sarjana ini menurun seiring meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi. Hal inilah yang menyebabkan para pemilik gelar sarjana hanya memiliki penghasilan 20% di wilayah sub-sahara Afrika, dimana sangat jarang warganya memiliki gelar sarjana.
Namun hal berbeda terjadi di negara-negara Skandinavia yang hanya memiliki kenaikan gaji 9% bagi fresh graduate perguruan tinggi, karena 40% penduduknya memiliki gelar sarjana.
Di sisi lain, dunia telah memasuki evolusi pekerjaan yang membuat gelar perguruan tinggi tidak lagi relevan. Akan banyak peluang pekerjaan yang lebih membutuhkan skill daripada selembar kertas ijazah.
Namun bukan berarti pendidikan tidak penting lagi, hanya saja bagai individu yang memiliki gelar perguruan tinggi dengan skill yang mumpuni akan lebih memiliki peluang pekerjaan yang lebih stabil dibandingkan yang hanya mengandalkan gelar saja.
Tentu banyak faktor lainnya yang mempengaruhi. Penelitian menunjukkan, skor kecerdasan menjadi indikator potensi pekerjaan yang jauh lebih baik daripada nilai di atas kertas ijazah.
Nilai akademis menunjukkan seberapa banyak seseorang belajar tapi hasil tes kecerdasan mereka mencerminkan kemampuan intelektual mereka dalam hal belajar, bernalar dan berpikir logis.
Gelar perguruan tinggi juga semakin dikacaukan dengan adanya ‘kelas sosial’ yang berperan dalam mengurangi mobilitas sosial dan menambah jurang ketidaksetaraan.
Banyak universitas yang memilih siswa atas dasar meritokrasi bahkan gaya seleksinya berdasarkan penggabungan berbagai variabel, bukan hanya prestasi pendidikan namun juga kemampuan financial.
Sementara itu, para perekrut dan pemberi pekerjaan ada kemungkinan tidak terkesan dengan kandidat kecuali mereka dapat memiliki keterampilan tertentu. Hal ini mungkin yang menjadi perbedaan terbesar dari apa yang dicari universitas untuk mahasiswanya dan pemberi kerja bagi pelamarnya.
Para pengusaha menginginkan kandidat yang memiliki EQ, ketahanan empati dan integritas yang lebih tinggi. Sementara kualifikasi tersebut tidak pernah menjadi pertimbangan bagi universitas saat menerima mahasiswanya.
Keadaan ini semakin diperparah dengan perkembangan AI dan teknologi yang semakin canggih dan di masa depan dipersiapkan untuk mengerjakan tugas yang tak bisa dilakukan oleh manusia.